NASIONAL

Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 Uji Materi UU Cipta Kerja terhadap Pasal-Pasal PSN DPR Absen Lagi, PSN Dipertanyakan di Mahkamah Konstitusi

16
×

Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 Uji Materi UU Cipta Kerja terhadap Pasal-Pasal PSN DPR Absen Lagi, PSN Dipertanyakan di Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini

http://Rajawali Times tv.com Jakarta, 11 September 2025 – Sidang lanjutan perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi kembali digelar pada Kamis, 11 September 2025, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak pemohon. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya hadir untuk memberikan keterangan kembali tidak hadir. Absennya DPR memperlihatkan lemahnya akuntabilitas lembaga legislatif dalam mengawal kebijakan yang berdampak luas pada rakyat.

Hadir dua ahli, Herlambang Perdana Wiratraman (Fakultas Hukum UGM) dan Dianto Bachriadi (Agrarian Resource Center), serta satu saksi warga Rempang, Sukri. Dari pihak pemerintah, hadir selaku kuasa hukum presiden perwakilan Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Hukum dan HAM.

Ahli Herlambang Wiratraman: PSN sebagai Politik-Hukum Pengistimewaan Kapitalisme Negara

Dalam keterangannya, Herlambang Perdana Wiratraman menegaskan bahwa norma-norma PSN dalam UU Cipta Kerja mencerminkan politik-hukum yang mengistimewakan struktur kapitalisme negara.

“Frasa seperti kemudahan dan percepatan PSN menunjukkan karakter hukum yang ramah pada liberalisasi pasar. Ini bagian dari politik hukum pengistimewaan dalam logika kapitalisme, masalah ini dapat dilihat dari pelaksanaannya di berbagai daerah yang memicu berbagai praktik perampasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, tapi sudah bermasalah dengan konsep. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya norma-noma paradoks yang tertuang pada Undang-Undangnya” ujar Herlambang.

Ia mengingatkan bahwa sejak masa kolonial, pembangunan infrastruktur seringkali hanya melayani kepentingan modal dan mengeksploitasi sumber daya alam, bukan rakyat. Mengutip Mohammad Hatta, Herlambang menekankan bahwa pembangunan yang berorientasi investasi tanpa keadilan sosial berpotensi mengulang pola kolonialisme: jalan, kereta api, dan pelabuhan dibangun bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan perusahaan besar yang melahirkan pada berbagai krisis.

Lebih jauh, Herlambang menegaskan bahwa PSN bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

“PSN telah memakan korban begitu banyak, menyengsarakan warga, mengusir mereka dari kampung dan ruang hidupnya. Padahal Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jelas menyatakan tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” tegasnya.

Ahli Dianto Bachriadi: PSN dan Kesesatan Logika Pertumbuhan Ekonomi

Ahli kedua, Dianto Bachriadi, menyebut PSN dibangun di atas “kesesatan logika pertumbuhan ekonomi”. Pemerintah, katanya, memaknai pembangunan hanya sebatas pertumbuhan fisik infrastruktur, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis.

“Saya tidak menemukan makna strategis dalam PSN sebagaimana digagas dalam hukum. Yang dimaksud strategis seharusnya adalah rencana terukur untuk kesejahteraan umum, keadilan sosial, serta perlindungan rakyat. PSN justru diperlakukan sebagai tolok ukur tunggal pembangunan yang mengalienasi budaya, sosial, dan makna, ini cara pandang yang keliru,” jelas Dianto.

Ia menambahkan bahwa PSN dalam UU Cipta Kerja bermasalah karena:

Menyamakan percepatan PSN dengan kepentingan umum.

Memasukkan proyek-proyek komersial dalam kategori kepentingan umum.

Membuka peluang PSN dimiliki atau dikuasai swasta, bukan negara.

“Ketika UU Cipta Kerja terbit, PSN tidak lagi sepenuhnya dikuasai pemerintah atau BUMN. Ia dapat diserahkan ke swasta, termasuk dalam hal pengadaan tanah. Artinya, negara menyerahkan ruang hidup rakyat ke logika keuntungan investor,” pungkas Dianto.

Saksi Sukri: Rempang Bukan Tanah Kosong

Saksi warga Rempang, Sukri, menegaskan bahwa klaim pemerintah yang menyebut Rempang sebagai tanah kosong adalah keliru.

“Saya lahir di Rempang, begitu juga bapak dan nenek moyang saya. Rempang bukan tanah kosong, ada penghuninya sejak lama. Sebelum PSN masuk, kami hidup sejahtera dari kebun, sehari bisa mendapatkan hingga Rp170 ribu per orang. Banyak anak Rempang kuliah dengan biaya mandiri, tetapi semua itu hilang sejak kehadiran PT. Makmur Elok Graha” tutur Sukri.

Ia juga menceritakan pengalaman pahit warga Rempang ketika aparat memaksa masuk pada 7 September 2023.

“Pasca kejadian 7 September, waktu itu tim terpadu berusaha masuk ke Rempang dengan menggunakan kekerasan, di mana warga kami ditembaki dengan gas air mata. Dan para tim terpadu tidak hanya menembak masyarakat dengan gas air mata, tetapi mereka menembaki rumah-rumah warga, sekolah-sekolah dari SD serta SMP, sehingga terjadilah pemukulan. Hari tersebut merupakan peristiwa berdarah bagi kami. Sukri Saksi Pemohon (Warga Sembulang Hulu, Kecamatan Galang)

Majelis Hakim Minta Pemerintah Hadirkan Data Konkret

Menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arsul Sani kembali menegaskan permintaan agar pemerintah menghadirkan data konkret mengenai klaim manfaat PSN.

“Harap disediakan data terkait pertumbuhan ekonomi, impact PSN dalam konteks pertumbuhan, dibandingkan sebelum dan sesudah PSN. Kami butuh perbandingan apple to apple, termasuk data investasi 5–10 tahun terakhir sebelum dan sesudah UU Cipta Kerja,” tegas Arsul.

Agenda Sidang Selanjutnya

Sidang akan dilanjutkan pada Senin, 22 September 2025, pukul 10.30 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR yang hingga kini terus mangkir, Saksi Para Pemohon, serta Ahli dan Saksi Presiden (VII).

Hormat kami,

Gerakan Rakyat Menggugat PSN (GERAM PSN)

Narahubung Tim Hukum

Edy K. (YLBHI) +62 853-9512-2233

Asep K. – (Greenpeace) +62 813-1072-8770

Salsabila K. (Pantau Gambut) +62 817-7416-0359

Pewarta Antony Sabar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *