http://Rajawali Times tv.com Makassar, 13 September 2025 Siapa yang menggerakkan BEM UI dan untuk kepentingan apa melakukan unjuk rasa dan meminta pencopotan Purba Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan yang baru satu hari dilantik?. Pertanyaan ini sangat urgen guna memahami latar belakang dan kepentingan siapa dibalik layar politik gerakan itu. Bukankah Purba Yudhi belum bisa di evaluasi karena belum ada hasil kerja yang bisa di kinerja?. Sebab ada indikasi gerakan politik yang sangat menyolok, kalau pemerintahan Prabowo ingin dikacaukan dan dilemahkan dari dalam. Apalagi Sri Mulyani adalah tulang punggung utama dari kekuatan oligarki, lalu tiba-tiba digantikan oleh Purba Yudhi Sadewa.
Publik membaca adanya indikasi politik terselubung dibalik unjuk rasa BEM UI, dengan alasan: *Pertama* ; Belum ada Hasil kerja Menkeu Purbaya Yudhi yang bisa di kinerja. *Kedua* ; BEM UI keliru dan tidak menunjukkan sikap akademisi, jika analisis pribadi PYS dianggap kontroversi. Sementara tuntutan pasca kerusuhan 17+8 didusun oleh kelompok influencer mengatasnamakan masyarakat, dan bukan disusun oleh perwakilan kelompok masyarakat yang tertindak akibat kebijakan n pemerintahan sebelumnya. Apakah para aktivis dan influencer adalah n kelompok genk Solo?. Karena sama sekali tidak ada diktum yang menguatkan pemerintah, mala justeru melemahkan posisi dan kedudukan Presiden Prabowo dengan banyaknya poin tuntutan tarik mundur TNI. Sementara aparat kepolisian berpotensi meningkatkan ekskalasi dan memperluas wilayah komplikasi. Ada hal apa yang membuat BEM UI bertindak tidak profesional, melainkan terprovokasi masuk wilayah komplik politik “perebutan kekuasaan”?.
Tuntutan Menkeu dicopot tidak tepat karena melanggar etika kesusilaan, dan inkonstitusional karena tidak ada dasar hukumnya. Hanya karena penilaian pribadi (hak asasi) yang menganggap bahwa tuntutan 17+8 adalah tuntutan dari sebagian kecil masyarakat, dalam menjawab pertanyaan langsung dari salah seorang awak media dianggap kontroversional. Dan jawaban itu sudah benar dan tepat, menunjukkan integritas kejujuran dan ketegasan dari sosok Purba yang telah menerima amanah sebagai pemimpin.
Sebagaimana diketahui tuntutan 17+8 punya deadline sampai, Jumat, 5 September 2025. Selain 17 tuntutan itu, masih ada 8 tuntutan lainnya yang punya deadline setahun lagi yakni sampai pada 31 Agustus 2026 mendatang. Poin-poin tersebut didapat Kompas.com dari salah satu aktivis cum influencer media sosial yang turut menyusun 17+8 Tuntutan Rakyat, yaitu; Salsa Erwina Hutagalung, pada Kamis (4/9/2025). Dan sudah diserahkan ke DPR Kamis (4/9/2025), oleh ” *para aktivis dan influencer media sosial* ” Saat menyambangi DPR untuk menyerahkan 17+8 Tuntutan Rakyat. (Dikutip dari-KOMPAS.com).
Adapun isu yang ingin dibentuk; “seakan-akan Prediden tidak mampu mengatasi masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga terjadi kerusuhan yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian negara. Sementara dampak itu sudah ada sebelum Prabowo dilantik.
Pertanyaannya; siapa itu para aktivis dan influencer media sosial?. Sebab kelompok ini jelas-jelas tidak mendukung pemberantasan korupsi yang menjadi skala prioritas pemerintahan Merah Putih. Dan mereka bukan dari masyarakat umum yang buta politik. Demikian juga unjuk rasa BEM UI merujuk benang merahnya membela para aktivis dan influencer, bukan membela masyakat tertindas dari kebijakan politik masa lalu (oligarki).
Bukankah demo masyarakat yang berujung kerusuhan adalah dampak dari keputusan politik (kebijakan publik) yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi sebelum lengser?. Kenapa pemerintahan Prabowo yang harus menanggung resikonya. Kemungkinan besar demo 25 dan 28 Agustus lalu yang berdampak kerusuhan, adalah demo politik yang sengaja distting untuk menjatuhkan Presiden Prabowo?.
Mengutip sebagian tulisan Peter S. Gontha; Saya mengenal Purbaya Yudhi Sadewa dan saya menulis ini dengan penuh tanggung jawab :
Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa (PYS) bukanlah sekadar rotasi kabinet biasa. Sri Mulyani adalah teknokrat kelas dunia, simbol disiplin fiskal, dan wajah Indonesia di mata internasional. Tidak mengherankan jika kepergiannya menimbulkan guncangan psikologis di pasar.
Namun, PYS hadir dengan pendekatan yang berbeda. Banyak yang menilai pernyataan-pernyataannya arogan, bahkan terkesan sombong. Tetapi di balik gaya komunikasinya yang keras, terdapat alasan strategis yang layak dipahami. Menggantikan figur sekelas Sri Mulyani bukan pekerjaan ringan. Ia sadar, tanpa menunjukkan keyakinan penuh sejak awal, dirinya akan segera dicap lemah dan menjadi bulan-bulanan media sosial.
Lebih jauh, PYS tidak sekadar bicara fiskal dalam arti sempit. Ia melihat akar persoalan ekonomi Indonesia: perampokan sumber daya alam yang berlangsung sistematis selama puluhan tahun. Ia menegaskan bahwa bea cukai dan aparat yang bermain di ekspor-impor harus diberantas. “Fiskal dengan pajak tidak akan menyelesaikan masalah. Yang harus dihentikan adalah praktik under-invoicing, manipulasi ekspor, dan penyelundupan hasil bumi,” demikian pesannya.
Praktik itu sederhana tapi menghancurkan: ekspor 10 juta ton dilaporkan hanya 5 juta ton. Setengah hasil bumi hilang dari catatan resmi, sementara devisa negara bocor ke luar negeri. Uang disembunyikan melalui under-reporting dan ditransfer ke Singapura atau negara lain. Negara dirugikan triliunan rupiah, sementara rakyat dibebani pajak yang makin tinggi.
PYS memahami bahwa jika kebocoran ini bisa ditutup, penerimaan negara akan melonjak drastis tanpa harus menambah beban fiskal rakyat. Itulah sebabnya ia meminta dukungan penuh dari Presiden: tanpa restu politik tertinggi, mustahil memberantas mafia ekspor-impor yang telah lama berakar, dilindungi oleh jaringan oligarki dan penguasa daerah.
Tentu saja, sikap keras PYS akan menimbulkan banyak musuh. Oligarki yang selama ini diuntungkan dari praktik kotor tersebut tidak akan tinggal diam. Tetapi jika tekad ini benar-benar dijalankan, Indonesia akan menuai hasil yang nyata: kekayaan alam benar-benar dinikmati rakyat, bukan segelintir elite. (Tulisan Peter S. Gontha 9/9/2025).
Selanjutnya mengutip-Catatan: Agus M. Maksum; Dengan judul; “Purbaya bongkar kesalahan Sri Mulyani uang ditahan di BI, ekonomi dicekik, sektor riil kering, rakyat jadi korban”
*Catatan Agus M Maksum*
Purbaya tampil apa adanya. Tidak dengan naskah tebal. Tidak dengan bahasa normatif yang biasa dipakai pejabat. Ia bicara panjang, jujur, kadang nyeletuk, kadang minta maaf. Tapi satu hal yang membuat ruangan Komisi XI DPR mendadak hening: ia membongkar kesalahan Sri Mulyani.
“Ekonomi kita dicekik,” ujarnya. Kalimatnya pendek. Tapi artinya dalam.
Yang ia maksud sederhana: uang ratusan triliun ditahan di Bank Indonesia. Pemerintah rajin menarik pajak, tapi lambat membelanjakan anggaran. Bank pun rajin parkir dana di BI, bukan menyalurkan ke dunia usaha. Hasilnya: sistem keuangan kering. Sektor riil megap-megap. Rakyat yang jadi korban.
Purbaya tahu betul rasanya. Ia pernah terjun langsung ketika krisis 1997–1998 menghantam. Saat itu bunga dinaikkan sampai 60 persen. Logika sederhana: ketat. Tapi nyatanya, uang primer justru melonjak 100 persen. Kebijakan kacau-balau. “Kita membiayai kehancuran ekonomi kita sendiri,” kenangnya getir.
Pelajaran itu seharusnya membuat kita cerdas. Dan memang, saat krisis global 2008, kita lebih tenang. Bunga diturunkan, fiskal digelontorkan. Ekonomi tetap tumbuh, ketika negara lain resesi. Purbaya menyebutnya sebagai bukti bahwa mesin fiskal dan moneter harus bekerja seirama.
Sayangnya, bangsa ini cepat lupa. Tahun 2020, pandemi COVID-19 datang. Kebijakan lagi-lagi salah. Uang di sistem minus. Likuiditas dicekik. Ekonomi hampir kolaps. Sampai akhirnya Purbaya dipanggil ke Istana. “Balikin uang ke sistem,” sarannya. Triliunan rupiah dilepas lagi, ekonomi terselamatkan.
Kini, kata Purbaya, kesalahan yang sama kembali diulang. Sejak pertengahan 2023 hingga 2024, likuiditas terus disedot. Dana pemerintah di BI sempat mencapai lebih dari Rp500 triliun. Bank juga menaruh sekitar Rp800 triliun. “Kalau Anda heran kenapa ekonomi melambat, jawabannya ada di situ,” tegasnya.
Purbaya bukan hanya mengkritik. Ia membawa resep. Pertama, uang pemerintah yang parkir di BI harus segera dipulangkan ke sistem perbankan. “Saya sudah lapor ke Presiden. Dari Rp. 425 triliun di BI, kita masukkan Rp100 triliun ke sistem. Itu sudah berjalan,” katanya.
Kedua, percepatan belanja anggaran. Tidak boleh lagi uang menumpuk hanya jadi angka. Caranya: monitoring ketat. “Sebulan sekali jumpa pers. Kalau penyerapan rendah, pejabat terkait harus jelaskan ke publik,” ujarnya, dengan nada setengah serius setengah menantang.
Ketiga, membiarkan sektor swasta bernapas. Menurutnya, pemerintah tidak mungkin mengatur seluruh agen ekonomi. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan kondisi sehat, di mana pengusaha bisa bergerak sendiri. “Kalau dua mesin hidup—fiskal dan moneter—pertumbuhan 6 persen lebih itu realistis,” katanya percaya diri.
DPR sempat menanggapi. Ada yang mengingatkan, ada yang menyindir. Tapi tidak ada yang membantah fakta bahwa ekonomi memang sedang dicekik.
Purbaya tahu ucapannya bisa dianggap sombong. Tapi ia tidak peduli. “Saya harus jujur. Kalau tidak, kita akan ulangi kesalahan yang sama,” ucapnya.
Dan hari itu, di ruang rapat DPR, ia sudah memulai: membongkar kesalahan Sri Mulyani. Dengan bahasa yang mungkin tidak nyaman didengar. Tapi bukankah kebenaran memang sering terasa pahit?
*Kesimpulan* :
Keterlibatan para aktivis dan influencer mengusung konsep 17+8 pasca kerusuhan, bisa dianggap sebagai rasa pertanggungjawaban fari akibat perbuatan bukan karena rasa solitatitas. Hal ini berarti kelompok tersebut memiliki andil dan konstribusi atas lahirnya kerusahan tersebut. Demikian juga unjuk rasa BEM UI yang menuntut pencopotan Purbaya, dapat diduga memiliki jahitan benang merah dengan kekuasaan oligarki sebelumnya. Apalagi Purbaya berani bongkar kesalahan Sri Mulyani: uang ditahan di BI ekonomi dicekik, sektor riil kering, rakyat jadi korban.
Salah satu sikap tegas Purbaya yang patut diapresiasi, ialah sikap yang menunjukkan keberanian melawan Oligarki. Ketika ditanya oleh DPR: bagaimana kita bayar hutang 1.300T. Menjeu menjawab: 3000T dikorup aja bisa, masa untuk bayar hutang 1.300T tidak bisa.
Sesungguhnya demo masyarakat yang berujung kerusuhan Agustus lalu, adalah dampak dari keputusan politik (kebijakan publik) yang dibuat oleh pemerintahan Jokowi sebelum lengser. Kenapa pemerintahan Prabowo yang harus menanggung resikonya?. Karena kemungkinan besar demo yang berdampak kerusuhan itu, adalah demo politik yang sengaja disetting untuk menjatuhkan Presiden Prabowo Subianto?. Achmad Ramli Karim* (Pemerhati Politik & Pendidikan)
Redaksi Piter Siagian












