http://Rajawali Times tv.com JAKARTA, 13 Agustus 2025* – Sehari jelang sidang pembacaan putusan Pengujian Materiil (JR) atas Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pada Kamis, 14 Agustus 2025, TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI SEKTOR KEADILAN PAJAK (TAUD-SKP) meminta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya. Hakim juga diminta menyatakan sejumlah pasal yang terdapat dalam UU No.7 tahun 2021 tersebut yang menjadi landasan pemerintah untuk memperluas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 15% bertentangan dengan UUD 1945[1].
Gugatan JR dengan register perkara Nomor: 11/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh 6 pemohon individu dan satu pemohon lembaga hukum yayasan, pada 20 Februari 2025 saat #IndonesiaGelap berkumandang. Enam pemohon individu tersebut adalah Asmania, seorang perempuan nelayan yang berdomisili di Pulau Pari, Kepulauan Seribu; Fauzan Hakami, mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta; Muhamad Agus Salim, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas yang sama; Risnawati Utami, seorang penyandang disabilitas fisik; Rusin, pelaku usaha mikro dengan warung di Kabupaten Bekasi; serta Warsiti, seorang perempuan yang bekerja sebagai tukang ojek daring Grab. Selain itu satu pemohon adalah lembaga hukum Yayasan Indonesian Mental Health Association, organisasi yang mewakili penyandang disabilitas psikososial.
Afif Abdul Qoyim kuasa hukum Para Pemohon yang tergabung dalam TAUD-SKP menyatakan UU HPP telah memperluas Objek PPN karena menghapus item yang oleh regulasi sebelumnya tidak dikenai PPN kini menjadi dikenakan PPN (negatif list Objek PPN menjadi positif list Objek PPN). Item tersebut yaitu, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak (Pasal 4A ayat 2 huruf b), jasa pelayanan kesehatan medis (Pasal 4A ayat (3) huruf a), jasa pendidikan (Pasal 4A ayat (3) huruf g), dan jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri (Pasal 4A ayat (3) huruf j). ”Hal ini merupakan langkah mundur negara karena mengakibatkan tidak terwujudnya sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum bagi masyarakat khususnya bagi kelompok miskin dan rentan,” kata Afif
Afif yang juga pengacara publik dari YLBHI menyatakan perluasan Objek PPN ini berpotensi berdampak buruk pada pemenuhan layanan dasar seperti jasa kesehatan dan pendidikan dimana masyarakat semakin tidak bisa menjangkau akibat kenaikan harga-harganya.
“Seharusnya layanan dasar seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa kesehatan, dan jasa angkutan umum tidak dikenakan pajak karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara meningkatkan layanan dasar kepada warga negara. Ini dalam rangka mewujudkan kewajiban negara dalam bidang HAM yaitu menghormati (respect), melindungi (protect) dan memenuhi (fulfill) hak asasi warga negara sebagaimana diatur dan dijamin dalam UUD 1945, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan instrumen hukum lainnya,” tegas Afif.
Judianto Simanjuntak Kuasa Hukum lainnya menyatakan kenaikan tarif PPN sebesar 11 persen dan 12 persen sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU HPP sangat membebani ekonomi masyarakat, dan memperberat daya beli masyarakat, khususnya bagi masyarakat kelas bawah, miskin dan kelompok rentan karena sifatnya regresif. Sebab kenaikan PPN mengakibatkan kenaikan harga kebutuhan pokok (dasar), jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, dan yang lain. Hal ini terkonfirmasi berdasarkan keterangan saksi yang diajukan Para Pemohon dalam persidangan.
“Ironinya, UU HPP sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) memberikan kewenangan yang sangat luas dan diskresi kepada pemerintah untuk mengubah besaran tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen tanpa disertai dengan indikator substantif yang jelas, seperti pertimbangan ekonomi, sosial, atau lingkungan, yang seharusnya dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan perubahan tarif. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat karena memungkinkan tarif PPN ditentukan berdasarkan pertimbangan politik jangka pendek tanpa melalui kajian akademis yang komprehensif dan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas,” ujar Judianto Simanjuntak.
Judianto menyatakan keterangan ahli kebijakan fiskal Media Wahyudi Askar dan ahli Ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara yang diajukan Para Pemohon seharusnya jadi bahan evaluasi bagi pemerintah terkait dengan kenaikan PPN.
Kesaksian Ahli, Media Wahyudi Askar pada sidang 09 Juli 2025 mengatakan, “PPN itu berdampak kepada masyarakat luas itu sangat signifikan. Konsumsi masyarakat miskin itu jauh lebih banyak yang dikenakan pajak PPN secara persentase ketimbang masyarakat kaya, itu karena sifat PPN itu regresif. Ketika masyarakat miskin dikenakan pajak PPN hanya 1% saja dampaknya terhadap kenaikan pajak PPN, itu dampaknya sangat signifikan pada peningkatan kemiskinan”.
Begitu pun kesaksian Ahli Ekonomi, Bhima Yudhistira Adhinegara, yang hadir dalam persidangan pada 09 Juli 2025 menyatakan “Apabila kenaikan PPN diberlakukan menjadi 12 persen itu pada saat PPN persen berlaku secara umum, belum spesifik pada barang mewah saat itu, maka kelompok rentan miskin harus menanggung tambahan sebesar Rp1.222.566 per tahunnya akibat selisih PPN, karena sifatnya regresif, maka orang miskin secara proporsi terhadap pendapatan itu yang paling banyak menanggung PPN secara faktual”.
Khusus terkait dengan perubahan tarif PPN yang diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana tertulis dalam pasal 7 ayat (4) UU HPP juga merupakan pemberian kewenangan yang sangat luas dan berlebihan bagi pemerintah.
“Pengaturan tarif PPN dalam pasal tersebut telah mengabaikan peran dan fungsi DPR sebagai wakil rakyat dalam pembentukan Undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat. Dan hal ini bertentangan Pasal 23A UUD 1945 yang mengamanatkan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, ungkap Judianto yang juga merupakan Pengacara Publik.
Novia Sari Kusa Hukum lain yang juga aktivis perempuan dari Solidaritas Perempuan menyatakan kenaikan PPN mengakibatkan beban kerja perempuan meningkat atau sering disebut beban ganda. Hal inilah yang dialami Pemohon atas nama Asmania perempuan nelayan yang mengalami kesulitan ekonomi untuk memenuhi barang-barang kebutuhan pokok bagi dia dan keluarganya. Beban ganda telah ia rasakan ketika bahkan ketika pemerintah memberlakukan tarif PPN 11% mulai April 2022 lalu. UU HPP yang masih berpotensi menaikan PPN hingga 15% akan membuat kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok secara signifikan, dan itu terjadi di tengah stagnasi pendapatan, penurunan pendapatan atau bahkan kehilangan pendapatan.
Oleh karena dampak kenaikan PPN yang dirasakan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan rentan, Novia Sari menyatakan sangat setuju dengan pendapat ahli Kebijakan Fiskal Media Wahyudi Askar dalam persidangan menyatakan seharusnya pemerintah menggunakan Pajak alternatif, yaitu penguatan pajak penghasilan yang lebih progresif, pajak kekayaan, windfall tax dari industri ekstraktif, pajak digital, carbon tax, dan yang lain. Pendapat Media Wahyudi Askar ini sangat relevan dan cocok untuk mengatasi terkait kenaikan ini.
Asmania sebagai perwakilan Pemohon menyatakan kenakan PPN ini sangat memberatkan masyarakat secara luas karena mengakibatkan kenaikan harga barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan yang lain sehingga membebani ekonomi masyarakat. Karena itulah Asmania mengharapkan MK mengabulkan permohonan agar membatalkan UU HPP.
Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Para Pemohon menyatakan UU HPP tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945 terkait dengan hak penghidupan yang layak, hak hidup sejahtera, hak hak sejahtera lahir dan batin dan hak memperoleh pelayanan kesehatan, hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, hak untuk mendapat pendidikan, hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Karena itu Judianto mengharapkan MK memberikan putusan yang adil bagi Para Pemohon, masyarakat khususnya masyarakat miskin dan rentan, dengan putusan sebagai berikut;
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak tidak masuk dalam jenis barang yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
3. Menyatakan Pasal 4A ayat (3) huruf a UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa jasa pelayanan kesehatan medis tidak masuk dalam jenis jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
4. Menyatakan Pasal 4A ayat (3) huruf g UU HPP dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa jasa pendidikan tidak masuk dalam jenis jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
5. Menyatakan Pasal 4A ayat (3) huruf j bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri tidak masuk dalam jenis jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
6. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
7. Menyatakan Pasal 7 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat yaitu sepanjang frasa “Tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)”, tidak dimaknai bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) tanpa mempertimbangkan indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan;
8. Menyatakan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat yaitu sepanjang frasa “Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Peraturan Pemerintah”, tidak dimaknai bahwa perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Undang-undang.
*TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI SEKTOR KEADILAN PAJAK (TAUD-SKP)*
*Narahubung:*
1. Afif Abdul Qoyim ( +62 813-2004-9060)
2. Judianto Simanjuntak (+62 857-7526-0228)
3. Novia Sari (+62 813-6598-4387)
Antony