DAERAH

BENCANA EKOLOGI ADALAH CERMIN NEGARA. Ady Mancanegara, S.H Direktur (HKTI) Sebut Kegagalan Manisfestasi Pemerintah.

13
×

BENCANA EKOLOGI ADALAH CERMIN NEGARA. Ady Mancanegara, S.H Direktur (HKTI) Sebut Kegagalan Manisfestasi Pemerintah.

Sebarkan artikel ini

http://Rajawali Times tv.com Jakarta //Banjir dan longsor dahsyat yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat baru-baru ini bukan sekadar keganasan cuaca; mereka adalah manifestasi kegagalan tata kelola ruang, perizinan, dan penegakan hukum yang telah berlangsung lama. Data terbaru menunjukkan angka korban yang tragis: ratusan tewas, ratusan lagi hilang, dan ratusan ribu warga terdampak. Kematian kolektif yang menuntut pertanggungjawaban nyata.

“saya mendesak KLHK segera melakukan audit menyeluruh atas seluruh izin usaha yang beroperasi di kawasan hulu DAS. Setiap perusahaan yang terbukti melakukan pembalakan hutan secara ilegal atau melanggar tata ruang harus dicabut izinnya tanpa pengecualian. Tidak ada alasan untuk mempertahankan izin yang terbukti mengancam keselamatan rakyat.”

Fakta paling tak terbantahkan adalah hubungan antara degradasi hutan di hulu DAS dan intensitas banjir serta longsor. Pakar hidrologi Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa kerusakan hutan tangkapan air (upper-watershed forest degradation) memperparah banjir kilat dan pergerakan massa tanah akhir 2025. Kerusakan ini bukan kebetulan, ia adalah akumulasi izin konversi lahan, pembukaan tambang, dan ekspansi perkebunan yang menipiskan kemampuan alam menyerap curah hujan ekstrem.

Data satelit mempertegas klaim tersebut: Sumatera Utara sendiri kehilangan jutaan hektar tutupan pohon antara 2001–2024—angka yang menunjukkan skala perubahan lanskap yang dramatis dan relevan terhadap kemampuan DAS menahan limpasan air. Hilangnya tutupan pohon dan fungsi ekologis ini adalah bahan bakar bagi bencana yang baru saja menelan nyawa.

Saya menuntut tindakan tegas dari negara, bukan sekadar retorika bencana alam dan simpati pasca-kejadian. Kerusakan lingkungan hidup adalah pelanggaran hukum, bukan sekadar “musibah”.

Maka tuntutan politik dan hukum haruslah konkret. Kepada Bapak Presiden: tingkatkan otoritas pusat dan perintahkan pembentukan Task Force Nasional Penegakan Lingkungan Pasca-Bencana yang dikepalai langsung oleh Istana, dengan mandat: (1) audit izin konsesi di DAS terdampak, (2) pencabutan serta pembekuan izin bagi perusahaan yang melanggar, (3) koordinasi penegakan pidana terhadap korporasi dan pejabat yang terlibat dalam perizinan bermasalah, dan (4) pendirian dana pemulihan ekosistem yang didanai oleh kontribusi wajib perusahaan penyebab kerusakan. Jika presiden tak bertindak cepat, negara akan terus menjadi fasilitator bencana.

Kepada kementerian terkait — khususnya KLHK, Kementerian ESDM, Kementerian ATR/BPN, PUPR, dan BNPB — desakan ini harus berwujud: moratorium penerbitan izin baru di seluruh hulu DAS kritis; audit publik atas seluruh AMDAL dan izin konsesi dalam 90 hari; dan penerapan mekanisme corporate liability yang memaksa perusahaan membiayai reklamasi dan kompensasi ekologis sebelum izin berlanjut. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK harus dipanggil untuk menerapkan penyidikan terpadu bila ditemukan indikasi korupsi perizinan atau pelanggaran pidana lingkungan.

Dengan ini saya memberikan solusi berupa jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek: evakuasi terkoordinasi, audit teknis cepat pada titik rawan longsor, penghentian aktivitas penebangan dan tambang di hulu, dan penarikan sementara izin yang bermasalah. Jangka panjang: rekonstruksi DAS berbasis alam (nature-based solutions) — reforestasi agroforestry di hulu, pembentukan sabuk penahan di pinggir sungai, sistem resapan dan retensi air terpadu, peta risiko terbuka untuk publik, serta skema insentif bagi masyarakat lokal untuk menjaga dan merestorasi hutan. Selain itu, transparansi penuh data perizinan lewat portal nasional wajib dijalankan.

bila negara tidak mau mengakui bahwa bencana ini adalah akibat pilihan kebijakan, maka setiap korban menjadi bukti kegagalan kolektif kita—bukan hanya tragedi alam. Waktu untuk retorika telah habis. Yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan tegas: audit, penegakan, pemulihan, dan reformasi perizinan. Jika Bapak Presiden dan kementerian terkait benar-benar serius, mereka harus menjadikan tragedi ini sebagai momen perubahan struktural—bukan sekadar ritual belasungkawa. Masyarakat menuntut lebih: pertanggungjawaban nyata atau konsekuensi politik.(AM.SH)

Pewarta Antony

Redaksi Piter Siagian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *