Rajawali Times tv.com Jakarta Tanggal 7 November 2025 Apa yang terjadi jika “jeruk makan jeruk” sebagaimana iklan Nutrisari yang acapkali tayang di televisi hingga disaksikan oleh seluruh pemirsa tanah air. Konteks ini diartikan secara harfiah yang merujuk pada persaingan ditingkat internal secara ketat antar sesama pihak dari kelompok yang sama pula. Frasa “jeruk makan jeruk” memiliki beberapa makna hingga digunakan sebagai ungkapan sindiran atau hinaan untuk merujuk pada konflik atau persaingan internal di antara anggota kelompok atau komunitas yang sama. Frasa ini juga pernah digunakan untuk menggambarkan persaingan antar calon legislatif dalam satu partai, yang mengeluarkan biaya besar untuk berkampanye dan bersaing satu sama lain di daerah pemilihan (dapil) yang sama, seperti dijelaskan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Frasa jeruk makan jeruk dianggap terulang kembali dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang berjanji bahwa pemerintah akan membayar utang kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh sebesar Rp 1,2 triliun per tahun. Pernyataan ini dilontarkan Prabowo saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Jakarta Pusat, Selasa, 4 November 2025. Meski Inisiatif proyek Whoosh berasal dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh awalnya merupakan gagasan kerjasama Indonesia dan Jepang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014-2015, namun kemudian Indonesia memilih kerja sama dengan China. Proyek Whoosh telah menjadi kontroversi karena beberapa alasan dimana awalnya mempertimbangkan kerja sama dengan Jepang.
Belakangan pelaksanaan proyek ini beralih ke China dengan nilai anggarannya yang lebih tinggi. Biaya proyek Whoosh meningkat fantastis hingga mencapai USD 7,27 miliar atau sekitar Rp 116 triliun dengan panjang lintasannya hanya 142 kilo meter saja. Dokumen perjanjian dan perhitungan proyek Whoosh sulit diakses dari sifat kerjasama Bisnis to Bisnis yang melandasi pelaksanaan proyek tersebut. Dalam prakteknya, proyek ini menimbulkan kecurigaan dari adanya potensi korupsi atas mark-up harga yang terkesan berlipat-lipat bila dibandingkan dengan biaya proyek yang sama oleh Arab Saudi dengan panjang lintasannya mencapai 1.500 kilo meter. Proyek Whoosh menimbulkan utang yang besar, bahkan pasca restrukturisasi jangka waktu pembayaran hingga 60 tahun, proyek ini dirasakan akan membebani keuangan negara tentunya.
Kerjasama Business to Business (B2B) pada dasarnya merupakan hubungan yang bersifat personal antara dua atau lebih badan usaha. Tanggung jawab utama dalam kerjasama ini berada di tangan para pihak yang terlibat sesuai dengan perjanjian yang disepakati, berlandaskan hukum perdata, khususnya Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan jika Pemerintah akan terlibat langsung dalam operasional harian serta menanggung kerugian finansial dari kerjasama B2B murni semacam ini, walau tetap bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, adil, dan stabil. Dalam kesempatan lain, Jokowi menyebutkan jika transportasi massal seperti Whoosh tidak semestinya diukur dari laba, tapi dari keuntungan sosial demi menekan kerugian akibat kemacetan dikedua kawasan yang menjadi trayek kereta cepat tersebut.
Bantahan Jokowi itu tidak serta merta memupus dugaan akal-akalan agar beban utang Whoosh yang dapat dialihkan sebagai tanggung jawab pemerintah. Sebab dalam kerangka sosia formulasi kerja sama Government to Government (G2G) seharusnya lebih efektif dan berdampak secara langsung sebagai landasan kerjasama bila arahnya ditujukan pada manfaat sosial sebagaimana yang disebutkannya. Sebab kerjasama G2G mencakup prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), dengan fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan orientasi pada hasil yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Kerangka kerjasama G2G memang selalu akan berdampak sosial oleh karena kerjasama ini dirancang untuk memastikan adanya manfaat sosial yang nyata bagi masyarakat luas.
Pernyataan Presiden Prabowo tentu menjadi kekecewaan masyarakat karena dianggap mendukung alasan Jokowi agar pemerintah mengambil alih tanggung jawab utang yang diakibatkan oleh kerugian proyek tersebut. Bahkan dalam pemberitaan detiknews.com tertanggal 5 November 2025, Prabowo disebutkan pasang badan di tengah polemik utang pendanaan dan adanya dugaan mark-up dari terlaksananya proyek satu ini. Walau Kasus Whoosh diketahui sedang bergulir di KPK. Dimana pihak KPK pun tengah menyelidiki adanya dugaan korupsi dalam pengerjaan proyek itu. Namun penyelidikan KPK diduga akan menemui jalan buntu sekaligus memupus harapan masyarakat akan tegaknya keadilan dan integritas hukum yang merupakan proses menyatunya berbagai sistem hukum atau norma hukum yang berbeda guna menjadi satu kesatuan aturan yang utuh.
Meski tindakan dan keputusan Prabowo dianggap legal oleh sebagian kalangan, Namun keputusannya tidak didasari pada legitimasi yang bisa diterima oleh masyarakat umum. Oleh karena, tindakan legal hanya menjadi dasar untuk mengizinkan seseorang untuk melakukan sesuatu secara hukum, sehingga unsur Legalitas merupakan kesesuaian antara tindakan dengan aturan dan hukum tertulis (formal) yang berlaku. Sedangkan Legitimasi menyiratkan tentang penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap suatu tindakan yang benar, adil, dan layak untuk ditaati, yang didasarkan pada nilai-nilai moral. Sebuah tindakan bisa saja mengandung legalitas yang kuat, akan tetapi belum tentu didasari pada Legitimate yang memadai atau sebaliknya. Pada kerangka inilah penulis ingin menitik beratkan bagaimana menyikapi pernyataan Presiden tersebut.
Kunci perbedaan antara legalitas dan legitimasi, bisa dilihat dari rujukan pada kesesuaian suatu tindakan dengan hukum, peraturan serta perundang-undangan yang berlaku dan telah mendapatkan pengakuan legitimasi yang kuat. Sehingga suatu tindakan atau perbuatan dikatakan legal jika telah mengikuti prosedur hukum yang melandasinya. Namun, Legitimasi merupakan konsep yang lebih luas dengan mencakup penerimaan moral dan pengakuan dari masyarakat. Pada akhirnya, Suatu hukum bisa saja menjadi legal, tetapi tidak memiliki legitimasi moral oleh karena dianggap tidak berkeadilan yang pada akhirnya ditentang oleh masyarakat untuk tidak bersedia mematuhinya. Sedangkan tanpa hukum, tidak ada aturan yang mengikat bagi perilaku masyarakat yang pada gilirannya mengarah pada kekacauan, tindakan anarki, dan berpotensi menciptakan kerusuhan sosial, serta sulitnya ketertiban umum untuk diwujudkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #GerakanAkalSehat #FypJangkauanLuas #Toleransiindonesia #TI
Redaksi Piter Siagian












