NASIONAL

PDIP Selamat Bergabung ke Koalisi Prabowo-Gibran dan Untuk Pendukung Jokowi Mari Menangkan PSI

74
×

PDIP Selamat Bergabung ke Koalisi Prabowo-Gibran dan Untuk Pendukung Jokowi Mari Menangkan PSI

Sebarkan artikel ini

http://Rajawali Times tv.com Jakarta, Megawati sudah MEMERINTAHKAN para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Akhirnya elemen besar perpolitikan di Indonesia yang tadinya ngotot untuk berada di luar koalisi, sekarang Sang Ketum yang baru dikukuhkan lagi di Bali itu MEMERINTAHKAN para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

 

Kok cuma Presiden Prabowo Subianto? Lalu kemana Wapres Gibran? Ya itu satu kesatuan, tak terpisahkan. Waktu pilpres lalu mayoritas rakyat memilih pasangan Prabowo-Gibran, artinya memilih Prabowo ya berarti memilih Gibran, sebaliknya yang memilih Gibran ya itu artinya memilih Prabowo. Satu kesatuan tak terpisahkan.

 

Para kader militan (atau petugas partai) dari PDIP pastilah (bahkan harus) menuruti apa kata Ketumnya yang barusan dikukuhkan kembali dalam Kongres (tadinya cuma Bimtek) di Bali. Sekali lagi kita ucapkan, selamat bergabung PDIP, tunjukan kerja-kerja politik yang kondusif demi keberhasilan administrasi Prabowo-Gibran.

 

Dengan begini diharapkan kampanye DFK terhenti dengan sendirinya. DFK terhadap siapa? Terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran dan terhadap Jokowi, karena pemerintahan sekarang jelas-jelas merupakan keberlanjutan pemerintahan sebelumnya.

 

Hanya saja kita jadi teringat Jubir PDIP militan yang anti-Prabowo, Guntur Romli, ia yang awalnya di PSI lalu keluar lantaran marah karena PSI mendukung Prabowo dalam pilpres 2024 yang lalu. Nasibnya kini berada di persimpangan arus ideologis yang difanatikinya sendiri.

 

Sekarang Ketum Megawati telah MEMERINTAHKAN para kadernya untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran yang nyata-nyata didukung Jokowi dan PSI bersama KIM Plus. Nasib Guntur Romli jadi luntang-lantung lantaran mesti menelan ludahnya yang sudah berceceran di jalan.

 

Kebencian yang kesumat dalam suatu pilihan politik praktis pada ujungnya hanya membawa petaka. Kita boleh saja tidak setuju dengan lawan politik, tapi tak perlu membencinya apalagi samapi bermusuhan.

 

Tatanan demokrasi seyogianya dipandang sebagai arena diskursus yang gegap gempita dalam adu pendapat (pertengkaran argumentatif) yang logis. Dialektika thesis versus anti-thesis senantiasa melahirkan sinthesis yang semestinya merangkum dua perpektif sebelumnya.

 

Pada gilirannya nanti sinthesis tadi akan bermetamorfosis menjadi thesis kembali yang akan dihadapi oleh anti-thesis yang baru untuk kemudian terlahir sinthesa yang baru lagi, suatu rangkuman yang lebih sempurna. Begitu seterusnya, dalam cara pandang evolusi antropologis manusia dalam membentuk trajektori kehidupannya. Kebencian yang kesumat hanya merusak perjalanan evolusi antropologis ini.

 

Sebagai orang beriman kita senantiasa mempercayakan campur tangan Tuhan Yang Maha Esa (Gusti mboten sare), tetaplah mengasihi sesama manusia dengan cara yang adil dan beradab. Dimana tali persaudaraan terus dirajut dalam semangat persatuan sebagai bangsa. Ingat ke tiga sila dalam Pancasila, ketuhanan – kemanusiaan – persatuan.

Lalu, kehidupan kita sebagai bangsa diselenggarakan lewat suatu administrasi negara yang dipandu oleh hikmat kebijaksanaan dalam suatu permusyawaratan. Permusyawaratan, bukan menang-menangan sendiri, apalagi dengan melewati rute DFK (disinformasi, fitnah dan kebencian). Mekanisme permusyawaratannya dengan memfasilitasi mekarnya wacana (diskursus) yang sehat, yang jujur dan bermutu.

Kalaupun mesti lewat sistem perwakilan, maka perwakilannya dipilih lewat stelsel yang jujur dan adil (jurdil) serta langsung, umum, bebas dan rahasia (luber). Pemilu yang jurdil dan luber, demi mencapai demokrasi yang hakiki. Kita menamainya dengan Demokrasi Pancasila (berketuhanan, berperikemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan berkeadilan sosial).

 

Perjalanan sebagai bangsa dan negara kita menuju negara sejahtera bersama (welfare-state) yang kita rumuskan sebagai negara-bangsa yang berkeadilan sosial. Masyarakat Adil Makmur (MAM) seperti yang kerap dipidatokan Bung Karno dulu.

Keberadaan PDIP sebagai mitra-strategis (non-oposisi) seperti dikatakan salah seorang Ketua DPP-nya, Said Abdullah, artinya tetap tidak berada di dalam kabinet atau tetap di luar pemerintahan. Tapi fungsi dari eksistensinya adalah untuk memberi masukan strategis, supaya pemerintahan tetap berada pada rel yang seharusnya.

Terkait kasus Hasto Kristiyanto yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memberi suap ke Komisioner KPU Wahyu Setiawan Hasto terkait pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku, nampaknya perlu kita pahami dalam konteks upaya Presiden Prabowo mengupayakan persatuan dan kesatuan. Makanya Hasto mendapat hadiah amnesti, ia yang terbukti sebagai koruptor tak perlu lagi menjalani hukuman penjara 3 tahun 6 bulan.

Banyak pro-kontra terhadap kebijakan yang ditempuh Prabowo ini. Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa dan Hasto sudah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyuapan kepada apratus negara. Ini pengkhianatan terhadap demokrasi yang jujur dan adil. Sebelumnya berkali-kali Hasto melakukan tindakan DFK terhadap Presiden ketujuh Republik Indonesia Joko Widodo, suatu perbuatan yang sama sekali tidak terpuji.

Kita semua memahami, ada agenda politik lainnya di belakang kasus Harun Masiku. Ada kasus BLBI yang mungkin saja menyeret nama Megawati nantinya kalau saja kasus Hasto ini tidak dihentikan, apa pun cara dan siasatnya.

Maka demi persatuan dan kesatuan para elit politik di republik ini “kekompakan” stelsel politik di atas mesti diupayakan, potensi kekisruhannnya mesti diredam, tak bisa dibiarkan saling cakar-cakaran terus. Mesti ada cara lain, cara yang dipakai Jokowi selama ini untuk menang, sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Arti hariafiahnya, kaya tanpa harta, memiliki kesaktian tanpa ilmu/benda pusaka, menyerang tanpa bala pasukan, lalu menang tanpa merendahkan. Satu persatu kita ulik.

Pertama, sugih tanpa bandha. Kaya tanpa harta yang dimaksud sebenarnya adalah hidup tidak berkekurangan. Bukan semata-mata harta yang jadi tolok ukur. Karena kekayaan yang dituju dalam hidup bukanlah pengumpulan harta benda dan uang.

Relasi yang banyak dan pertemanan yang banyak adalah aset, dimana relasi tersebut membuat kita selalu mudah untuk melakukan segala sesuatu. Teman-teman (relawan) secara langsung/tidak langsung mau membantu. Hal tersebut sebenarnya berawal dari kita sendiri, dimana kita juga dituntut sebelumnya mau melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati, bahkan tanpa imbalan sekalipun.

Approval rate yang masih sekitar 80 persen dan kemarin survey LSI Denny JA yang menangkap gejala 70 persen lebih orang tidak percaya soal fitnah ijazah palsu membuktikan kedigdayaan nasihat ini.

Kedua, digdaya tanpa aji karena kekuasaan sering kali tercipta karena kemenangan mental. Ungkapan Jawa ‘ digdaya tanpa aji ‘ tersebut artinya kekuasaan atau pengaruh bukan karena kita mempunyai suatu ilmu beladiri/ilmu tenaga dalam/aji-aji. Namun disini, suatu kekuasaan tercipta karena citra dan wibawa seseorang, perkataannya dan karyanya membuat masyarakat sangat menghargainya.

Ketiga, nglurug tanpa bala dapat di artikan secara harafiah ‘menyerang tanpa pasukan’. Artinya bahwa kita haruslah menjadi orang yang berani bertanggung jawab, berani untuk beraksi walaupun terkadang tinggal kita sendiri.

Sikap ini adalah sikap kesatria, yang mana bukanlah orang yang mudah untuk terhasut, ikut-ikutan, tetapi lebih cenderung kepada orang yang berani maju, berani meghadapi masalah, berani untuk bertanggung jawab, walaupun yang lainnya mundur/lari dari masalah tersebut.

Akhirnya yang keempat, menang tanpa ngasorake memiliki arti bahwa tujuan dari pencapaian kita atau kemenangan yang diraih haruslah tanpa merendahkan orang lain. Tanpa perlu membuat orang lain kehilangan muka.

Dalam pendekatan ala Stephen Covey (The 7 Habits of Highly Effective People) ungkapan ini sama dengan ‘win-win solution’, yang memiliki arti semua pihak yang berselisih paham mendapatkan hasil yang (dianggapnya) menguntungkan juga.

Ini filosofi yang sangat mendasar, yang akan membuat hidup kita menjadi lebih harmonis tanpa merendahkan orang lain. Kehidupan yang diisi dengan sikap kesatria, semangat solidaritas yang menjauhi sikap serakah.

Sehingga tema besar tentang koalisi besar yang sedang diupayakan Prabowo kita pahami sebagai koalisi besar yang berupa persatuan para elit politik negeri agar guyub.

Ini pilihan demi menggalang kekuatan dalam negeri untuk menghadapi tarikan kepentingan geo-politik yang sejak ratusan tahun lalu keenakan bak lintah menyedot kekayaan negeri. Kepentingan geo-politk asing ini selalu berkongkalikong dengan para kompradornya di dalam negeri.

Ini mirip dengan koalisi besar ala Soekarno dengan konsep Nasakom-nya, yaitu persatuan kalangan Nasionalis, kaum Agama dan kaum Komunis. Tiga kekuatan politik riil nasional masa itu, di tengah gejolak geo-politik riil masa itu pula.

Kita ingat, segera setelah kejatuhan Soekarno, Indonesia “habis dibagi-bagi” (pinjam istilah Kwik Kian Gie) oleh koalisi perusahaan-perusahaan asing, yang selama puluhan tahun berikutnya keenakan menikmati konsesi-konsesi itu. Dan baru pada rejim Gus Dur yang singkat dan kemudian diteruskan oleh rejim Joko Widodo upaya pengambil alihan konsesi asing itu dikerjakan lewat strategi hilirisasi.

Administrasi Prabowo-Gibran adalah melanjutkan strategi hilirisasi Jokowi. Untuk membaca manuver-manuver kepentingan asing yang berlindan dengan komprador politik domestik memang mesti dengan kejelian intelijen.

Prabowo-Gibran mesti berselancar terus dengan sangat hati-hati. Pertengkaran politik mesti disikapi dengan cara Jokowi selama ini terbukti digdaya: sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake.

Pendukung Prabowo mari dukung Gerindra, pendukung Jokowi (dan Gibran) mari dukung PSI. Bersama koalisi super besar (KIM Plus + PDIP) kita bergotong-royong membawa bangsa ini jelang VIE (Visi Indonesia Emas) 2045.

Bandung, Minggu 3 Agustus 2025

*Andre Vincent Wenas*,MM,MBA., Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Redaksi Piter Siagian

Respon (1)

  1. Semoga dg masuknya PDIP Jadi lebih baik..dan orang2 yg masih ada dalam lingkungan Mulyono segera di cut..agar pemerintahan JD lebih solid Krn tidak ada yg dualisme dalam pemerintahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *