http://Rajawali Times tv.com BONE, Sulawesi Selatan – 19 Desember 2025 — Dunia jurnalistik kembali menjadi sorotan menyusul mencuatnya dugaan praktik pemerasan yang dilakukan oleh seorang oknum yang mengaku sebagai wartawati. Seorang perempuan berinisial RS, diketahui bernama Rosna (dalam sejumlah laporan juga disebut Lisda), yang berdomisili di Sulawesi Utara, diduga kerap menyalahgunakan profesi wartawan untuk menekan instansi pemerintah dan pelaku usaha di wilayah Sulawesi Selatan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sejumlah pihak yang mengaku menjadi korban, RS diduga mempublikasikan pemberitaan bernada negatif dan menyudutkan tanpa melalui proses konfirmasi dan verifikasi sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Setelah berita tersebut tayang, pihak yang diberitakan kemudian dihubungi dan diminta sejumlah uang dengan dalih agar pemberitaan dihentikan, tidak dilanjutkan, atau diturunkan.
Sumber-sumber tersebut menyebutkan, nominal yang diminta bervariasi dengan kisaran minimal Rp5.000.000 per berita. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban mengaku telah dimintai uang sebelum berita diterbitkan, lalu kembali dimintai dana tambahan setelah berita dipublikasikan.
RS diketahui mengaku sebagai Kepala Biro salah satu media online bernama ReportaseIndonesianews. Saat dikonfirmasi, Mas Yadi, Pimpinan Redaksi ReportaseIndonesianews, membenarkan bahwa Rosna pernah tercatat sebagai Kepala Biro. Namun, ia menegaskan bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh RS tersebut berada di luar sepengetahuan redaksi.
“Benar yang bersangkutan tercatat sebagai Kepala Biro, tetapi perbuatan yang diduga dilakukan itu tidak pernah kami ketahui. Jika terbukti, tentu akan kami tindak dan beri teguran,” ujar Mas Yadi.
Situasi semakin rumit ketika muncul sosok lain bernama Lisda yang menghubungi sejumlah pihak dan mengaku sebagai pimpinan ReportaseIndonesia. Klaim tersebut langsung dibantah keras oleh Mas Yadi.
“Kami tidak mengenal nama tersebut sebagai bagian dari struktur redaksi kami. Yang bersangkutan bukan wartawan kami dan tidak memiliki jabatan apa pun di media ini,” tegasnya.
Mas Yadi juga menyampaikan bahwa pihaknya akan menelusuri dugaan pencatutan nama media serta mengambil langkah tegas jika ditemukan pihak-pihak yang mengatasnamakan medianya secara tidak sah.
Dugaan praktik ini kian menguat setelah beredar informasi mengenai keterkaitan RS dengan sekelompok individu yang diduga melakukan premanisme berkedok LSM dan wartawan di wilayah Kabupaten Bone. Kelompok tersebut disebut-sebut kerap menghentikan kendaraan angkutan, seperti mobil tangki dan truk, di jalan raya, melakukan pendokumentasian, serta menginterogasi sopir tanpa dasar kewenangan hukum.
Salah satu nama yang disebut dalam aktivitas tersebut adalah HR alias Herman, warga Kabupaten Bone yang berdomisili di Jalan Ahmad Yani. HR diduga bukan aparat penegak hukum maupun petugas resmi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan raya.
Apabila penghentian kendaraan tersebut disertai permintaan uang, maka tindakan tersebut patut diduga sebagai pemerasan. Lebih jauh, ketika permintaan itu tidak dipenuhi, kasus-kasus terkait justru diduga diangkat ke media tertentu sebagai bentuk tekanan dan intimidasi publik.
Dalam konteks inilah nama RS alias Rosna kembali mencuat. Pemberitaan diduga digunakan sebagai alat tekanan, tanpa keberimbangan, tanpa konfirmasi, dan tanpa menjunjung tinggi etika jurnalistik. Istilah “86” pun beredar di tengah masyarakat, yang merujuk pada dugaan praktik “uang damai” setelah pemberitaan diterbitkan.
Salah seorang korban mengaku dimintai Rp3 juta sebelum berita dirilis, lalu kembali dimintai Rp5 juta agar berita tersebut diturunkan. Bahkan, muncul pihak lain yang mengaku sebagai pimpinan pusat media dan menawarkan penyelesaian damai. Namun setelah dikonfirmasi, nama tersebut tidak dikenal oleh pemilik media resmi dan diduga merupakan bagian dari jaringan yang mencatut nama media.
“Itu bukan bagian dari kami. Jangan ditanggapi. Kami juga dirugikan oleh pencatutan nama media,” tegas pemilik media yang identitasnya dicatut.
Apabila rangkaian dugaan tersebut terbukti, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum, termasuk dugaan pemerasan, pencemaran nama baik, serta pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers sejatinya bekerja berdasarkan fakta, konfirmasi, dan etika, bukan tekanan, ancaman, ataupun transaksi.
Redaksi menilai Aparat Penegak Hukum (APH) perlu bersikap tegas dan objektif agar praktik serupa tidak terus berulang dan merugikan masyarakat, khususnya sopir angkutan, pelaku usaha, dan instansi yang menjadi sasaran.












