http://Rajawali Times tv.com Makassar, 12 September 2025 Peranan ulama sangat penting dalam memberikan dukungan moral dan legitimasi terhadap penumpasan Gerakan 30 September (G30S) PKI, terutama melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang menerbitkan fatwa dan menggerakkan massa santri untuk melakukan kontra-aksi, sementara TNI, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, menjadi kekuatan utama dalam operasi militer untuk menumpas pemberontakan, merebut kembali kendali Jakarta, dan memburu para pelarian PKI melalui operasi-operasi seperti Operasi Trisula di Blitar Selatan.
Demikian juga Pemuda Muhammadiyah salah satu organisasi otonom Muhamadiyah ikut berkontribusi menjadi salah satu benteng perlawanan masyarakat membantu TNI menumpas G30S/PKI, dengan membentuk Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).
*Ulama Perekat ABRI Dan Rakyat*
Sejarah bangsa nencatat bahwa Ulama dan ABRI, merupakan dua benteng kokoh bagi kedaulatan dan keutuhan NKRI, serta benteng perlindungan bagi rakyat. Oleh karena itu kelompok yang ingin melemahkan kedua benteng tersebut, adalah kaum kapitalis atau new komunis sebagaimana tercatat dalam sejarah bangsa dimasa lalu.
Ulama berhasil menggerakkan massa santri untuk melakukan aksi balasan terhadap PKI di berbagai daerah (kontra aksi massa), termasuk di Situbondo dan daerah lainnya. Pasukan GP Ansor, yang merupakan badan otonom NU, turut serta dalam penumpasan dengan membantu TNI membentuk pagar betis di area persembunyian PKI di Blitar Selatan, mencegah pelarian mereka.
Pekikan takbir para ulama saat itu, mampu membangkitkan semangat jihad perlawanan santri bersama rakyat, dalam menumpas sisa-sisa
G30S/PKI. Bahkan berkat semangat juang yang dimiliki para ulama, mampu menyatukan dan merekatkan kekuatan ABRI bersama rakyat.
*Sejarah Lahirnya KOKAM*
Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dibentuk pada 1 Oktober 1965 sebagai respons terhadap situasi genting pasca-Peristiwa G30S/PKI. Pemrakarsanya adalah tokoh Muhammadiyah, Letnan Kolonel S. Prodjokusumo, yang kemudian diangkat menjadi komandan pertama KOKAM. Pembentukan KOKAM bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan keluarga besar Muhammadiyah dalam menjaga keutuhan NKRI.
Indonesia pada tahun 1965 menghadapi disintegrasi dan krisis politik yang memuncak dengan meledaknya Peristiwa G30S/PKI. Melihat kondisi yang tidak stabil, pimpinan Muhammadiyah memberi respon dan mengusulkan pembentukan KOKAM untuk mengantisipasi kemungkinan buruk dan menentang gerakan komunis. Inisiatif Tokoh Muhammadiyah:
Letnan Kolonel S. Prodjokusumo bersama tokoh Muhammadiyah lainnya seperti H. Ibrahim Nazar dan Drs. Lukman Harun merencanakan dan membentuk KOKAM. Letnan Kolonel S. Prodjokusumo (Pak Prodjo) adalah tokoh sentral yang mencetuskan dan memimpin pembentukan KOKAM.
KOKAM bekerja sama dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kekuatan-kekuatan lain yang menentang Gerakan 30 September/PKI. TNI, di bawah komando Jenderal Soeharto sebagai Panglima Kostrad, melancarkan operasi militer untuk menumpas G30S/PKI. Akhirnya pasukan TNI berhasil menguasai kembali Jakarta, membebaskan dan mengangkat para jenderal yang diculik dan dibunuh dari sumur lubang buaya. dan mengamankan instalasi vital seperti stasiun radio dan gedung pemerintah.
TNI melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap anggota PKI yang terlibat dalam gerakan tersebut di berbagai daerah, seperti di Semarang dan Surakarta.
Sementara operasi Penumpasan Sisa PKI, TNI melancarkan operasi khusus seperti Operasi Trisula di Blitar Selatan untuk memburu dan menumpas sisa-sisa PKI yang melarikan diri setelah peristiwa G30S.
Kemudian TNI, melalui tokoh seperti Sarwo Edhie Wibowo, juga memberikan pelatihan militer kepada massa anti-PKI, termasuk pemuda NU, untuk membantu dalam upaya penumpasan gerakan tersebut.
*New Komunis Bangkit Tanpa Bentuk & Identitas*
Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah) adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Judul itu disematkan A. H. Nasution (Sumber: Wikipedia).
Dulu PKI gagal kudeta lewat G30S/PKI Tahun 1965, karena Ulama, Rakyat, dan TNI masih kokoh bersatu menjadi benteng NKRI. Inilah yang dijadikan pembelajaran sekarang oleh kelompok komunis gaya baru (New Komunis). Dan belajar dari sejarah kegagalan kudeta PKI tersebut untuk menguasai NKRI, maka KGB sekarang bangkit tanpa wujud bagaikan setan yang tidak tampak secara kasat mata, namun bisa dicium dan dirasakan dampak gerakannya. Karena mereka membangun kekuatan dan pengaruh, melalui dunia maya yang tak bisa terdeteksi pula.
Paska runtuhnya Orde Baru Komunis Gaya Baru (New Komunis) telah bangkit menyusun strategi yang lebih agresif dan profesional. Gerakan mereka bersifat masif dan sistemik, karena mereka memiliki kualifikasi pendidikan dan SDM yang memadai. Sehingga mereka tidak buta politik tetapi tergolong kelompok masyarakat melek politik. Mereka tergolong cerdas dan profesional karena menguasai teknologi informasi dan komunikasi, sehingga memiliki kompetensi menggiring isu dan opini publik melalui media sosial dan media-media online.
New Komunis bangkit bergerak bagaikan setan dari kubur, yang tidak nampak secara kasat mata namun bisa diketahui pergerakannya melalui dunia maya dan dampaknya. Adapun gerakan yang bisa dibaca, adanya berbagai strategi dalam menggiring isu dan opini publik untuk mempengaruhi psychologi massa, meliputi:
*Strategi Pertama* : Membentuk isu menggiring opini publik; Bergerak di dunia maya tanpa bentuk, untuk menguasai media sosial dan media-media online. Tujuannya; untuk mempengaruhi psychologi massa melalui strategi penggiringan opini publik. Selanjutnya kelola komplik dengan gerakan bersama melalui peralihan isu, yang dapat menguntungkan dan merugikan lawan politik.
*Strategi Kedua* : Halangi calon pemimpin muslim panatik, caranya; cegah calon pemimpin khususnya capres-cawapres muslim yang panatik, melalui black campaign yang dapat meruntuhkan reputasi dan kredibilitasnya dimata publik. Giring opini publik yang mampu merusak citra tokoh tersebut, lewat media online dengan argumentasi logis dan faktual kearah politik kanan atau kiri, yang dapat mempengaruhi psychologi massa.
*Strategi Ketiga* : Lemahkan Ulama dan jauhkan dari umatnya; Belajar dari sejarah kegagalan PKI masa lalu, maka sekarang indikasi pelemahan ulama dan menjauhkan dari umat, sudah tercium dan terasa oleh publik. Yaitu melalui isu negatif dan penggiringan opini publik, seperti; isu Yaman tempat subur awal berkembangnya komunisme, DN Aidit Keturunan Yaman, HRB adalah pendukung kuat ARB dan dibentuk opini kalau keduanya adalah keturunan Yaman. Begitu juga isu HABAIB yang digiring kalau mereka berasal dari Yaman, karena Yaman adalah tempat lahirnya paham kimunis. Sementara tokoh-tokoh yang dimaksud lahir di Indonesia, bahkan dilahirkan dari orang tua yang lahir di Indonesia juga.
Strategi peralihan isu dianggap sangat efektif untuk memecah belah para ulama nusantara, agar tidak kuat bersatu sekaligus menjauhkan tokoh ulama dari umatnya. Akhirnya lewat isu Habaib dari keturunan Yaman, pundasi ulama sebagai benteng umat muslim berhasil dirobohkan dan dijauhkan dari umatnya.
Sekarang Ulama sebagai pundasi umat muslim berhasil dirobohkan dan dijauhkan dari umatnya, melalui strategi politik pecah bela lalu kuasai. Sedangkan TNI dalam operasi pelumpuhan, karena satu-satunya benteng NKRI yang masih kokoh sekarang adalah TNI.
*Strategi Ke-empat* : Alihkan isu dan putarbalikan fakta; New komunis bangkit tanpa bentuk dan Identitas sehingga ia bebas menyusup masuk keberbagai lini kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mereka berupaya menggiring opini publik kalau PKI adalah korban pelanggaran HAM dimasa lalu. Oleh karena itu, pemerintah wajib meminta maaf dan memulihkan nana baik keluarga PKI sebagai korban HAM. Sehingga dengan alasan rehabilitasi tersebut pemerintah harus memberikan ganti rugi bagi keluarga korban HAM tersebut. Maka atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah mengeluarkan Kepres Nomor: 17 Tahun 2022. Kepres ini Mengatur Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang selanjutnya dalam Keppres ini disebut Tim PPHAM.
Gerakan alihkan isu dengan menggiring opini publik ini, digunakan dalam mempengaruhi psychologi massa untuk memperkuat pemerintahan oligarki. Namun anehnya ketika Jokowi telah lengser, pemerintahan baru dibawah Presiden Prabowo Subianto tetap diganggu dengan kebijakan politik yang tidak pro rakyat banyak. Sementara Presiden Prabowo bertekad menyehatkan demokrasi, memberantas korupsi, dan menghapus kemiskinan yang dikenal dengan istilah tri isu. Tekad Prabowo untuk memberantas korupsi dan menyita aset para koruptor yang menjadi rintangan dan tantangan berat pemerintahan Merah Putih. Karena para koruptor yang ada pada kelompok oligarki, diduga menggerakkan para influencer menggiring isu negatif kalau kerusuhan akibat demontrasi rakyat 25 dan 28 Agustus 2025, adalah dampak dari pemerintah dan menjadi tanggung jawab Presiden Prabowo Subianto. Padahal dapat diduga kalau Demo itu disusun dan menggerakkan massa melalui dunia maya ( medsos dan media online).
*Strategi Kelima* ; Kuasai dan lemahkan peran TNI; Langkah pertama pelemahan TNI, dengan mengalihkan lembaga BIN dari TNI kepada Kepolisian RI. Kemudian belajar dari kasus kerusuhan sebagai dampak dari demo politik 25 dan 28 Agustus 2025, peran TNI ingin dilemahkan dan dijauhkan dari kasus politik. Hal ini dapat dipahami dari kuatnya tuntutan 17+8 untukmenarik mundur TNI ke- barak, dan mengatasnamakan tuntutan masyarakat. Sementara faktanya tuntutan itu disusun dan dilaksanakan oleh kelompok kecil masyarakat, yaitu kelompok influencer mengatas akan masyarakat umum.
*Strategi Ke-enam* :
Ciptakan chaos, benturkan mayarakat dengan aparat; Dampak kasus demo 25 dan 28 Agustus 2025 lalu bukan kerusuhan biasa, tetapi dampak dari skenario politik tingkat tinggi yang disusun secara sistemik. Hal ini bisa dibaca dari rencana aksi yang disusun secara sistematis dan profesional melalui media sosial dan media-media online oleh orang-orang yang cerdas, profesional, atau melek politik.
Pengamat mengkritik penggunaan kewenangan polisi yang dianggap melampaui batas dalam menangani demonstrasi, yang terlihat dari insiden di Jakarta. Ada sorotan dan tuduhan terhadap polisi terkait tindakan mereka yang dianggap melampaui batas saat menangani demonstrasi. Insiden tewasnya Affan Kurniawan menjadi salah satu pemicu utama kemarahan publik dan memicu perhatian terhadap tindakan polisi, (BBC).
Dikutip dari-Liputan6.com, Gelombang aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak 25–28 Agustus 2025 meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melaporkan, aksi terjadi di 107 titik pada 32 provinsi, dengan sebagian berlangsung damai, namun tak sedikit pula yang berakhir rusuh hingga menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.
Awalnya, demonstrasi digelar untuk menuntut pembatalan kenaikan tunjangan, transparansi gaji DPR, serta penolakan RKUHAP. Namun, eskalasi meningkat tajam setelah insiden tragis seorang driver ojek online terlindas kendaraan Barakuda kepolisian. Peristiwa itu memicu gelombang kemarahan publik dan memperluas titik-titik aksi.
Kerugian terbesar terjadi di ibu kota. Sebanyak 22 halte Transjakarta dan MRT rusak, dengan total kerugian mencapai Rp3,3 miliar untuk MRT, Rp41,6 miliar untuk Transjakarta, serta Rp5,5 miliar untuk fasilitas CCTV.
Gedung DPRD Sulsel dan DPRD Kota Makassar dibakar, menyebabkan tiga orang meninggal dunia dan lima lainnya luka-luka. Begitu jugs Kantor Sekretariat DPRD Solo dibakar, sementara di Surabaya, Gedung Grahadi serta 11 pos polisi rusak berat atau terbakar. Di Kota Kediri, Gedung DPRD dijarah dan dibakar, Kantor Satlantas dilempari, serta kendaraan barang bukti dirusak. Di Mataram, Gedung DPRD dan fasilitas legislatif lainnya turut dibakar dan dirampas. Aset Rumah Dinas MPR di Bandung dirusak, sedangkan Gedung DPRD Jateng di Semarang dibakar massa.
Belakangan muncul konsep 17+8 yang menimbulkan kecurigaan publik, dimana isi dari tuntutan itu kontradiktif dengan Tri isu Pemerintahan Prabowo Subianto yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, yaitu; “sehat demokrasi, anti korupsi, dan anti kemiskinan. Malah justeru melemahkan pundasi kekuatan pemerintah, dengan seruan menarik TNI kembali ke-barak. Sedangkan POLRI selama ini dapat diduga dijadikan tamen politik, sebagai alat kekuatan dan kekuasaan politik bagi kelompok oligarki.
*Strategi Ketujuh* : Kembalikan kekuasaan pada oligarki; Demo 25 & 28 Agustus lalu bukanlah demo biasa, melainkan demo drama politik yang telah disusun rapi dan sistemik oleh para aktor bayaran. Ekskalasi politik ini menunjukkan indikasi adanya strategi serangan politik untuk menjatuhkan atau melemahkan kedudukan Presiden Prabowo Subianto oleh kelompok influenser. Hal ini bisa dibaca dari undangan dan penyampaian adanya rencana unjuk rasa secara sistemik melalui media sosial, media online, atau internet, dengan menggerakkan kelompok tertentu.
Dikutip dari-KOMPAS.com – 17 Poin dari 17+8 Tuntutan Rakyat punya deadline hari ini, Jumat, 5 September 2025. Selain 17 tuntutan itu, masih ada 8 tuntutan lainnya yang punya deadline setahun lagi yakni sampai pada 31 Agustus 2026 mendatang. Poin-poin tersebut didapat Kompas.com dari salah satu aktivis cum influencer media sosial yang turut menyusun 17+8 Tuntutan Rakyat, Salsa Erwina Hutagalung, pada Kamis (4/9/2025) kemarin. Sudah diserahkan ke DPR Kamis (4/9/2025), para aktivis dan influencer media sosial menyambangi DPR untuk menyerahkan 17+8 Tuntutan Rakyat.
Adapun isu yang ingin dibentuk; “seakan-akan Prediden tidak mampu mengatasi masalah krusial yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga terjadi kerusuhan yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian negara. Sementara dampak itu sudah ada sebelum Prabowo dilantik. Seperti menaikkan pajak dan tunjangan DPR, sementara tuntutan pengesahan RUU perampasan aset selama, 10 tahun pemerintahan Jokowo tidak pernah di gubris. Namun menjelang lengser Jokowo minta DPR untuk mensahkan RUU perampasan aset tersebut.
Kenapa kelompok oligarki yang harus memimpin pemerintahan NKRI?. Karena para koruptor kakap (one Piece) merasa aman dibawah kekuasaan oligarki.
*Kesimpulan* :
Peran Ulama sangat besar dalam menumpas pemborantakan PKI 1965, khususnya dari NU, karena memberikan legitimasi dan dukungan moral yang kuat terhadap upaya penumpasan G30S/PKI. Mereka menjadi rujukan dan panutan bagi umat Islam dalam menghadapi gerakan PKI. Pimpinan NU mengeluarkan fatwa yang mengutuk PKI, mendorong para santri untuk melawan gerakan tersebut. Demikian juga Pemuda Muhammadiyah salah satu organisasi otonom Muhamadiyah ikut berkontribusi menjadi salah satu benteng perlawanan masyarakat membantu TNI menumpas G30S/PKI, dengan membentuk Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM).
Jangan terkecoh dengan lengsernya raja jawa, dan menganggap sudah tidak punya pengaruh apap-apa. Ingat pernyataan Bahlil Ketua Umun Golkar bahwa “Jokowi adalah Raja Jawa” Setelah lengser. Artinya Jokowi sekarang raja dari Koalisi parpol (oligarki). Berarti ia jauh lebih kuat dari Presiden Prabowo, karena ia masih mengendalikan oligarki.
Inilah yang dimaksud oleh mantan Panglima Jenderal Gatot bahwa KGB bangkit tanpa wujud, tidak nampak secara kasat mata tapi bisa tercium dari gelagak pergerakan politiknya tanpa Identitas. Karena mereka bergerak menbentuk isu dan opini publik melalui dunia maya.
Jika Presiden Prabowo tidak berhasil memenjarakan dan menyita aset para koruptor kakap, maka kemungkinan para koruptor kakap (bajak laut) akan melindungi dirinya, dengan menggerakkan massa melalui buzzer-buzzer atau influencer guna melengserkan Prabowo dari kursi Prediden. Apalagi jika purnawirawan TNI tidak berhasil melengserkan Fufu Fafa, maka raja Jawa kedua akan bertahta sebelum atau sesudah 2029 atas dukungan oligarki. Tulis Achmad Ramli Karim (Pemerhati Politik & Pendidikan)
Redaksi Piter Siagian